Setelah hijrahnya Rasulullah dari
Makkah ke Madinah bersama-sama para sahabatnya dan diterima baik oleh
orang-orang anshar, Islam telah berkembang, tersebar luas dan diterima oleh
banyak kabilah-kabilah arab. Kekuatan dan ekonomi Madinah telah menjadi
kukuh. Orang-orang arab Quraisy Makkah tidak senang hati dengan kemajuan
ini.
Perang Badar merupakan perang
pertama yang dilalui oleh umat Islam di Madinah. Ia merupakan isyarat betapa
mulianya umat Islam yang berpegang teguh pada tali agama Allah.
Kemenangan besar kaum muslimin tidak terletak pada jumlah tentara yang ikut
serta tetapi terkandung dalam kekuatan iman yang tertanam disanubari
mereka. Dengan Keyakinan mereka pada Allah yang sangat kukuh itu, Allah
telah menurunkan bantuan ibarat air yang mengalir menuju lembah yang
curam. Tidak ada sesiapa yang dapat menahan betapa besarnya
pertolongan Allah terhadap umat yang senantiasa menjalankan perintahnya dan
menjauhi larangannya.
Dikisahkan, Rasulullah terlebih
dahulu sampai di sumber mata air Badar dan memutuskan untuk berhenti di tempat
itu. Dan itu merupakan bagian dari strategi agar pasukan kaum muslimin dekat
dengan sumber air. Melihat hal itu, Habab ibn Mundzir berkomentar, “Wahai
Rasulullah! Mengapa engkau memilih tempat ini sebagai pemberhentian kita?
Apakah tempat ini memang telah ditentukan Allah kepadamu dan kita tidak dapat
memajukan atau mengundurkannya sedikitpun, ataukah ini adalah bagian dari
pendapat, strategi, dan siasat perang?” Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam
menjawab, “Ini hanyalah sekedar pedapat, stategi, dan taktik perang.” Maka
Habab berkata, “Wahai Rasulullah, jika demikian halnya, aku juga ingin
mengemukakan pendapatku. Menurutku, tempat ini tidak tepat untuk kita berhenti.
Sebaiknya kita terus berjalan hingga sampai di mata air yang paling dekat
dengan perkemahan bangsa Quraisy. Setelah itu, kita duduki tempat tersebut dan
kita hancurkan seluruh sumur yang ada di seberangnya dan menjadikannya kolam
penampungan air. Lalu, kita penuhi kolam itu dengan air dan kita baru menyerang
mereka. Dengan begitu, niscaya kita akan dapat minum air itu sedang mereka sama
sekali tidak bisa meminumnya.” Pada saat itu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wasalam berkata, “Pendapatmu sangat bagus!” Kemudian, Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wasalam pun menjalankan taktik yang ditawarkan oleh Habab ibn Mundzir
radhiallahu ‘anhu. Petunjuk yang diberikan oleh Habab ini diriwayatkan oleh
Ibnu Ishaq dengan riwayat munqathi’ -Ibnu Hisyam (2/312-313), atau dengan
riwayat mursal dan terhenti pada Urwah sebagaimana yang tertulis dalam
al-Ishabah (1/302), Hakim (3/446-447). Riwayat tersebut dinilai sebagai hadis
munkar oleh Dzahabi dan Umawi sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu Katsir di
dalam al-Bidayah wa an-Nihayah (3/293) dengan silsilah periwayatan yang
munqathi’ (terputus).
Ketika mereka telah berhasil
menduduki tempat yang dimaksud, Sa’ad ibn Muadz berkata kepada Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wasalam, “Wahai Nabi Allah! Tidakkah kami perlu membangun
kemah khusus untuk tempat istirahatmu, menyiapkan hewan kendaraanmu dan
kemudian kita baru menyerang musuh kita? Sungguh, seandainya Allah memberikan
kemenangan dan kejayaan kepada kita atas musuh-musuh kami, maka itulah yang
kami inginkan. Namun, bila kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya, maka
engkau sudah siap untuk menyelamatkan diri dan menemui kaum kita. Wahai
Rasulullah, sesungguhnya ada beberapa kaum yang menantimu di tanah air kita dan
kecintaan mereka terhadapmu lebih besar dari kami. Sehingga, bila mereka
mendengar bahwa engkau berperang, niscaya mereka pun tidak akan tinggal diam.
Allah pasti akan melindungimu dengan mereka. Sebab mereka pasti akan memberimu
pertimbangan dan senantiasa berjuang di belakangmu.” Maka, Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wasalam pun menyepakati usulan Sa’ad tersebut.
Meskipun demikian, perlu
digarisbawahi bahwa saat terjadinya perang Badar tersebut, Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wasalam ikut berperang aktif dan terlibat langsung dalam
pertempuran. Jadi, beliau tidak hanya berada di dalam kemah dan berdoa saja
sebagaimana dipahami oleh sebagian ahli sejarah. Ahmad menuturkan: Ali
radhiallahu ‘anhu menceritakan, “Kalian tentu telah menyaksikan bagaimana kami
pada saat pecahnya perang Badar. Saat itu, kami berlindung di belakang
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam, sedang beliau terus membawa kami
mendekati musuh. Dan beliau adalah orang yang paling berani ketika itu.”
Dengan isnad yang sama, sebuah hadis
lain menuturkan, “Ketika keberanian mulai memuncak pada saat perang Badar, kami
terus bergerak bersama-sama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam Bahkan,
beliau adalah orang yang paling berani. Terbukti, tidak ada satu pun kaum
muslimin yang paling dekat dengan musuh selain beliau.”
Muslim meriwayatkan: Pada perang
Badar, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam berkata kepada para sahabatnya,
“Jangan ada seorang pun di antara kalian bergerak sebelum aku memberi komando.”
Ibnu Katsir berkata, “Beliau terjun dan terlibat langsung dalam pertempuran itu
dengan segenap jiwa dan raga. Demikian halnya dengan Abu Bakar ash-Shiddiq.
Sehingga, keduanya tidak hanya berjuang dengan berdoa dan bermunajat kepada
Allah di dalam kemah saja, tetapi juga turun ke medan pertempuran dan bertempur
dengan mengerahkan segala daya dan upaya.”
Demikianlah, setelah pada siang
harinya mengerahkan segala kemampuan dan daya upaya yang mungkin dapat
dilakukan untuk memenangkan pertempuran, pada malam harinya beliau menghabiskan
waktunya untuk terus berdoa dan memohon kepada Allah untuk memberikan
kemenangan terhadap pihak tentara Islam. Adapun salah satu doa beliau saat itu
adalah seperti yang diriwayatkan dalam Shahih Muslim berikut: “Ya Allah,
sempurnakanlah kepadaku segala apa yang telah Engkau janjikan kepadaku. Ya
Allah, berikanlah apa-apa yang telah Engkau janjikan kepadaku. Ya Allah, jika
Engkau membinasakan pasukan Islam, tentulah Engkau tidak akan lagi disembah di
muka bumi ini.”
Sebuah riwayat mengatakan:
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam terus berdoa sampai kain sorbannya
terjatuh dari kedua pundak beliau. Kemudian, Abu Bakar datang menghampiri
beliau, mengambil sorban beliau yang terjatuh dan kemudian memakaikannya
kembali ke pundak beliau. Setelah itu, ia pun melakukan apa yang dilakukan oleh
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam di belakangnya. Setelah itu, Abu bakar
berkata, “Wahai Nabi Allah, tidakkah sudah cukup permohonanmu kepada Allah
Subhanahu wa ta’ala, karena sesungguhnya Allah pasti akan memenuhi seluruh
janji-Nya kepadamu?” Maka Allah berfirman,“(lngatlah), ketika kamu memohon
pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu, ‘Sesungguhnya Aku
akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang
bertutut-turut’.” (QS. Al-Anfal: 9) Dan benar, esok harinya, Allah mengirimkan
bala bantuan kepada mereka berupa pasukan tentara malaikat.” Adapun doa
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam pada saat perang Badar yang diriwayatkan
oleh Bukhari adalah:”Ya Allah, hamba memohon kepada Engkau akan janji dan
perjanjian Engkau. Ya Allah, jika Engkau berkehendak (membuat hamba kalah),
Engkau tidak akan disembah setelah hari (peperangan) ini.”
Riwayat lain menceritakan: Lalu Abu
Bakar memegang tangan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam dan kemudian
berkata, “Sudahlah Rasulullah, engkau sudah meminta dan mendesak Tuhanmu tanpa
henti!” Esok harinya, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam mempergunakan baju
besi dan kemudian keluar dari kemahnya seraya berkata, “Golongan itu (pasukan
Quraisy) pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang.” (QS.
Al-Qamar: 45)
Ibnu Hatim menceritakan: Ikrimah
berkata, “Ketika diturunkannya ayat ‘golongan itu (pasukan Quraisy) pasti akan
dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang … ‘, Umar berkata alam hati,
“Golongan manakah yang akan dikalahkan itu?”
Umar radhiallahu ‘anhu juga
menceritakan: Ketika perang Badar dimulai, aku melihat Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wasalam mempergunakan baju besi sambil berkata, Golongan itu (pasukan
Quraisy) pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang.” Maka, aku
segera mengetahui maksud ucapan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam
tersebut.”
Pada hari Jum’at pagi, tanggal 17 Ramadhan, tahun ke-2 hijriah, tepatnya ketika kedua belah pihak (muslim dan Quraisy) sudah saling berhadapan dan sedang mengambil ancang-ancang untuk saling menyerbu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam berdoa kepada Allah seraya berkata: “Ya Allah, itulah kaum Quraisy yang telah datang dengan sombong dan congkaknya. Mereka memusuhi-Mu, menyalahi perintah-perintahMu, dan mendustakan Rasul-Mu. Ya Allah, aku hanya meminta pertolongan yang telah Engkau janjikan kepada hamba. Ya Allah, binasakanlah mereka pagi ini!”
Pada hari Jum’at pagi, tanggal 17 Ramadhan, tahun ke-2 hijriah, tepatnya ketika kedua belah pihak (muslim dan Quraisy) sudah saling berhadapan dan sedang mengambil ancang-ancang untuk saling menyerbu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam berdoa kepada Allah seraya berkata: “Ya Allah, itulah kaum Quraisy yang telah datang dengan sombong dan congkaknya. Mereka memusuhi-Mu, menyalahi perintah-perintahMu, dan mendustakan Rasul-Mu. Ya Allah, aku hanya meminta pertolongan yang telah Engkau janjikan kepada hamba. Ya Allah, binasakanlah mereka pagi ini!”
Setiap kali akan berangkat
bertempur, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam selalu terlebih dahulu
merapatkan barisan pasukan kaum muslimin. Dia melakukan inspeksi barisan seraya
menggenggam sebuah anak panah. Saat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam
sedang melakukan pemeriksaan barisan, tiba-tiba beliau menekankan anak panah
beliau ke perut Sawad ibn Ghaziyyah. Pasalnya, waktu itu ia agak sedikit keluar
dari barisan. Beliau berkata kepadanya, “Sawad, luruskan barisanmu!” Sawad pun
menjawab, “Rasulullah, engkau telah menyakitiku, maka bolehkah aku membalasmu?”
Maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam membuka bagian perut beliau seraya
berkata, “Lakukanlah!” Akan tetapi, Sawad ternyata tidak jadi membalas, tetapi
justru memeluk Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam dan mencium bagian perut
beliau. Dengan heran, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam bertanya, “Apa yang
membuatmu seperti ini, Sawad?” Sawad menjawab, ”Wahai Rasulullah, seperti
itulah yang aku inginkan. Sesungguhnya aku telah berharap agar mati setelah
bisa menyentuhkan kulitku dengan kulitmu.” Lantas, Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wasalam pun mendoakan Sawad dengan hal yang baik-baik. Setelah itu,
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam memberikan berbagai arahan dan pengarahan
kepada pasukan muslim tentang berbagai hal yang berkaitan strategi dan siasat
mereka hari itu. Beliau berkata, “Apabila mereka mendekati kalian, maka serang
mereka dengan anak panah kalian dan jangan sampai didahului oleh mereka! Ingat,
jangan sampai kalian melupakan pedang kalian hingga kalian lengah dan dapat
dirobohkan.” Setelah berpesan demikian, beliau lantas mengobarkan semangat
pasukan muslimin dengan berkata, “Demi Allah yang jiwa Muhammad berada di
genggaman-Nya, setiap orang yang berperang melawan mereka (pasukan Quraisy)
pada hari ini, kemudian mati dalam keadaan tabah, mengharapkan keridhaan Allah,
maju terus pantang mundur, pasti akan dimasukkan ke dalam surga. “
Di dalam hadis yang diriwayatkan
oleh Muslim dikatakan bahwa ketika kaum musyrikin telah mendekat, Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wasalam berkata, “Bangkitlah kalian untuk menuju surga yang
luasnya seperti luas langit dan bumi.” Mendengar ucapan Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wasalam tersebut, Umair ibn Humam al-Anshari berkata, “Wahai
Rasulullah! Apakah benar surga memiliki luas seperti luas langit dan bumi?”
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam menjawab, “Benar.” Dengan terkagum-kagum,
Umair berucap, “Oh, betapa besarnya surga itu!” Lalu, Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wasalam bertanya kepada Umair, “Mengapa engkau berkata demikian?” Umair
menjawab, “Tidak, Rasulullah. Demi Allah, aku hanya berharap menjadi bagian
dari penghuninya.” Beliau berkata, “Engkau akan menjadi salah satu penghuninya.
“
Kemudian, ia mengeluarkan beberapa
butir kurma dan memakannya. Setelah itu, ia berkata, “Seandainya aku masih
hidup dan dapat memakan kurma-kurma ini, maka itu adalah kehidupan yang sangat
panjang.” Lalu ia melemparkan kurma yang ada di genggamannya dan kemudian
menjadi beringas bertempur sampai akhirnya terbunuh.
Auf ibn Harits (putra Afra) berkata, ”Wahai Rasulullah, apa yang membuat Allah tersenyum saat melihat hamba-Nya?” Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam menjawab, “Ketika tangan seorang hamba itu menceburkannya ke tengah-tengah musuh tanpa mempergunakan pelindung.” Maka, seketika itu juga Auf membuka pakaian besi yang melindunginya, dan kemudian melemparkannya. Setelah itu, ia menghunus pedangnya dan bertempur di medan perang sampai terbunuh.”
Auf ibn Harits (putra Afra) berkata, ”Wahai Rasulullah, apa yang membuat Allah tersenyum saat melihat hamba-Nya?” Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam menjawab, “Ketika tangan seorang hamba itu menceburkannya ke tengah-tengah musuh tanpa mempergunakan pelindung.” Maka, seketika itu juga Auf membuka pakaian besi yang melindunginya, dan kemudian melemparkannya. Setelah itu, ia menghunus pedangnya dan bertempur di medan perang sampai terbunuh.”
Sebelum dimulainya peperangan,
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam meminta kepada para sahabatnya untuk
tidak membunuh orang-orang dari Bani Hasyim dan beberapa orang lainnya.
Pasalnya, mereka ikut meninggalkan kota Mekah dan berperang karena dipaksa. Dan
di antara mereka yang disebutkan namanya oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wasalam adalah Abu Bukhtari ibn Hisyam (salah satu orang yang pergi ke Ka’bah
untuk merobek surat pemboikotan bangsa Quraisy terhadap kaum muslimin dan ia
sama sekali tidak menyakiti Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam) dan Abbas
ibn Abdul Muthalib.
Ketika Abu Hudzaifah mendengar
perintah itu, ia berkata, “Apakah kami harus membunuh bapak-bapak, anak-anak,
saudara-saudara, dan keluarga kami, sementara kami harus membiarkan Abbas
hidup? Demi Allah, bila aku bertemu dengannya, niscaya aku akan menebasnya
dengan pedang.” Akhirnya, ucapan tersebut sampai ke telinga Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wasalam Maka, beliau pun berkata kepada Umar, “Wahai Abu
Hafshah, benarkah ia akan memukul wajah paman Rasulullah dengan pedang?” Umar
berkata, “Wahai Rasulullah, izinkan saya untuk memenggal lehernya dengan
pedang. Demi Allah, ia telah berbuat kemunafikan.” Sementara itu, beberapa
waktu kemudian, Abu Hudzaifah berkata, “Aku merasa tidak tentram dengan
kata-kataku saat itu. Bahkan sampai sekarang aku masih merasa takut, kecuali
bila aku sudah menebusnya dengan kesyahidan.” Maka, akhirnya Abu Hudzaifah pun
mati syahid pada perang Yamamah.
Dikisahkan bahwa sebelum peperangan
dimulai, Asad ibn Abdul Asad al-Makhzumi keluar dari pasukan Quraisy seraya
berkata, “Demi tuhan, aku sungguh-sungguh akan meminum air kolam mereka, akan
merusaknya (kolam air), atau mati di hadapannya.” Maka, ketika ia sudah
mendekat, Hamzah pun merintanginya dan menyerangnya. Hamzah berhasil memukulnya
hingga kakinya retak. Akan tetapi, Asad masih terus merangkak menuju ke kolam
guna memenuhi sumpahnya dan Hamzah terus mengikutinya, memukul, dan akhirnya
membunuhnya di depan kolam tersebut.
Pengajaran dari peperangan ini
menunjukkan bahwa kaum Quraisy tidak bersatu padu. Ini terbukti apabila
ada beberapa pasukan yang menarik diri sebelum perang terjadi. Dengan ini
sebagai orang Islam kita harus bersatu demi untuk mencapai kemenangan. Kaum
Quraisy terlalu yakin yang mereka akan berjaya memusnahkan Islam yang memang
sedikit dari jumlah tetapi tidak dari semangat. Mereka tidak dapat
mengalah tentera Islam karena semangat tentera Islam begitu kukuh kerana
Rasulullah telah berjaya menjalin silaturrahim yang kuat sesama Islam.
Nabi Muhammad S.A.W pintar mengendalikan taktik peperangan. Orang Islam
mempunyai pegangan yaitu berjaya didunia atau mati syahid.
0 komentar:
Post a Comment
TERIMAKASIH SUDAH MEMBACA BLOK SAYA, SILAHKAN TINGGALKAN KOMENTAR